Jepara, rmijepara.id– Dalam rangka memperkuat sinergi dan menyamakan persepsi mengenai regulasi pendidikan diniyah takmiliyah yang terintegrasi dengan sekolah formal, Pengurus Cabang Rabithah Ma’ahid Islamiyah Nahdlatul Ulama (PC RMI NU) Kabupaten Jepara melakukan audiensi resmi dengan Kepala Kantor Kementerian Agama (Kemenag) Jepara, Senin, 4 Agustus 2025. Pertemuan yang berlangsung hangat ini digelar di Kantor Kemenag Jepara dan dihadiri oleh jajaran Kasi Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren (PD Pontren), serta staf-staf teknis terkait.
Audiensi dipimpin langsung oleh Divisi Madin PC RMI NU Jepara, KH. Muhammad Alfan, yang menyampaikan urgensi penguatan regulasi dan dukungan teknis dari Kemenag terkait model Madrasah Diniyah (Madin) Terintegrasi dengan Sekolah Formal yang kini mulai berkembang di beberapa wilayah Kabupaten Jepara. Menurutnya, fenomena integrasi ini merupakan langkah maju dalam mengefisienkan waktu belajar siswa, namun masih menyisakan sejumlah persoalan administratif dan teknis, khususnya terkait perizinan.
“Kami menerima banyak pertanyaan dari lembaga, terutama di wilayah Jepara bagian utara seperti Keling, Kembang, dan Donorojo, terkait status hukum dan izin operasional Madin yang terintegrasi. Jumlah lembaga yang sudah menerapkan model ini saat ini mencapai 17 lembaga, dan ke depan diprediksi akan terus bertambah. Kami berharap ada kejelasan arah kebijakan serta dukungan dari Kemenag, baik dalam bentuk regulasi maupun fasilitasi program seperti Bantuan Provinsi (Banprov) dan bansos lainnya,” jelas Kyai Alfan.
Kepala Kantor Kemenag Jepara, H. Akhsan Muhyiddin, S.E., M.M., merespons positif aspirasi dari RMI. Dalam sambutannya, beliau mengungkapkan bahwa saat ini Kemenag juga tengah mengkaji dampak kebijakan lima hari sekolah atau full-day school terhadap keberlangsungan Madin di daerah. Ia menegaskan, perizinan Madin terintegrasi pada dasarnya tidak rumit, namun memang membutuhkan penyesuaian model kerja sama agar tetap sesuai dengan regulasi nasional dan daerah.
“Model integrasi ini bisa dijembatani dengan MoU antar lembaga, sehingga meskipun berada dalam satu kompleks, Madin tetap punya entitas tersendiri. Hal ini penting agar para guru Madin tetap bisa mendapatkan hak-haknya, termasuk insentif. Kalau hanya satu izin — misalnya, MI saja tanpa izin Madin — nanti akan menyulitkan secara administratif,” ujar Akhsan.
Dalam audiensi tersebut, sejumlah pejabat Kemenag lainnya juga turut memberikan penjelasan teknis. KH. Zainuri, S.Ag., M.Pd.I. menegaskan bahwa prosedur pengajuan izin dan pencairan insentif Banprov tetap mengacu pada ketentuan yang berlaku, tanpa diskriminasi terhadap model integrasi. Sementara itu, H. Dede Rahmat, S.Th.I. menjelaskan bahwa pengajuan izin Madin kini difasilitasi melalui aplikasi Sitren, dan hingga saat ini telah terdapat empat lembaga MDT terintegrasi yang resmi tercatat dan berizin.
Namun, ia juga mengingatkan bahwa menurut aturan baru dari Kanwil Kemenag Jawa Tengah, MDT yang terintegrasi dengan sekolah formal tidak bersifat berjenjang sebagaimana Madin reguler, melainkan mengikuti jenjang kelas formalnya.
“Ini penting untuk dipahami, karena meskipun integrasi dimaksudkan untuk efektivitas, namun ada batasan yang perlu dijaga agar tidak bertentangan dengan pedoman teknis dari pusat,” jelas Dede.
Audiensi ini menjadi langkah awal yang penting untuk mendorong harmonisasi kebijakan dan mendukung peningkatan mutu pendidikan diniyah di Jepara. Dengan komunikasi yang terbuka dan sinergis antara RMI dan Kemenag, diharapkan Madin integratif dapat menjadi solusi pendidikan berkelanjutan yang tidak hanya efektif secara administratif, tetapi juga berkualitas secara substantif.
Red//Altsaury
Tinggalkan Balasan